JAKARTA: Harga nikel dunia bersiap melonjak berlipat setelah Indonesia
sebagai salah satu pemasok terbesar nikel mengeluarkan regulasi yang
membuat para pemain bisnis tambang mineral dilingkupi ketidakpastian.
Hingga akhir pekan lalu harga saham raksasa nikel dunia, Jinchuan Group
International Resources Co meloncat hingga 30% akibat menguatnya
spekulasi pelarangan impor bahan mentah nikel pada Mei oleh pemerintah
Indonesia di tengah melonjaknya kebutuhan nikel industri stainless-steel
China.
Menurut Wang Haoyang, analis SMM Information & Technology Co.,
harga saham Jinchuan naik setelah munculnya spekulasi pelarangan bijih
laterit per 7 Mei. Bijih laterit nikel adalah bahan utama tambahan
pembuatan baja tahan karat (stainless-steel), seperti dikutip dari laman
ferroalloynet.com.
Pada kesempatan terpisah Wang Lixin, analis dan peneliti Custeel.com
menyatakan China kini bersiap melirik potensi impor di luar Indonesia.
Dia mencatat tahun lalu China mengimpor 20,6 metrik ton bijih nikel dari
Indonesia (kadar 1,5-2,1%) atau 53% dari seluruh kebutuhan negeri
tersebut.
Marulam C.Sianipar, Direktur Utama PT Beta Mineral Indonesia (Bemindo)
yang memiliki tambang di Sulawesi Tenggara tidak membantah adanya
kesimpang-siuran informasi yang dipicu Peraturan Menteri ESDM No 07/2012
tentang peningkatan nilai tambah mineral.
Spekulasi muncul akibat adanya tumpang tindih antara UU Minerba no 4
tahun 2009 dengan Permen yang baru diteken Menteri ESDM Jero Wacik pada 6
Februari lalu.
Dalam pasal 170 UU Minerba no 4 tahun 2009 dikatakan "Pemegang kontrak
karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib
melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1)
selambat- lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Sementara bunyi dalam pasal 21 permen no 7 tahun 2012 dinyatakan "Pada
saat Peraturan Menteri ini berlaku, Pemegang IUP Operasi Produksi dan
IPR yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dilarang
untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan
Menteri ini"
“Kami pemain nikel cukup bingung dengan aturan ini. Begitu mendengar
adanya permen ini, China langsung mempersiapkan diri membeli dari tempat
lain. Padahal tahun lalu Indonesia mengekspor 95% dari seluruh produksi
bijih nikel ke China,” ujarnya.
Salah satu sumber bijih nikel yang kembali dilirik China adalah
Filipina Selatan yang sempat ditinggalkan karena persoalan keamanan.
“Jika harga bijih nikel kadar 1,8% benar-benar melonjak sampai US$100
per WMT, pasti China akan kembali ke Moro (Filipina Selatan).”
Diketahui selain Indonesia, China mengimpor bijih nikel dari Filipina,
Rusia, Australia dan Kaledonia Baru. Sementara itu China juga tengah
mempercepat pembangunan pusat tambang dan pengolahan nikel di Mongolia
yang bisa menghasilkan 39,8 metrik ton bijih nikel.
Demi proyek Mongolia, China melalui perusahaan pelat merah Baotou Steel
Rare-Earth (Group) Hi-Tech Co. membangun 10 fasilitas gudang mineral di
daerah Baotou, dekat perbatasan Mongolia yang mampu menampung 100 ribu
metrik ton.
Selain China dan India sebagai raksasa stainless steel, Korea Selatan
diketahui aktif memburu bijih nikel demi memenuhi kebutuhan metal
mereka.
Tahun lalu Pohang Iron and Steel Company (Posco), produsen stainless
steel terbesar nomor dua di dunia menanamkan tak kurang US$448 juta
untuk membangun unit pemurnian nikel di Gwangyang, Korea Selatan dengan
pemasok bahan baku dari Kaledonia Baru, Societe Nickel de
Nouvelle-Caledonie et Coree untuk memenuhi target produksi 54.000 metrik
ton pada 2014.
Seperti dikutip dari Bloomberg, kebutuhan stainless steel melonjak
seiring peningkatan produksi mobil dan pembangunan infrastruktur. Bagi
produsen baja anti karat, nikel menyedot hampir 60% biaya pembuatan
stainless steel.(api)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar